Berperahu Kertas Mendayung dengan Pena
Oleh: Alvi Ayu Rosidah
Namaku Mohammad
Hakim Nasrulloh, umurku lima belas tahun dan inilah diriku seorang lelaki
penikmat senja. Yang mana, senja adalah kenampakan alam yang sangat memukau
menurutku, sehingga hampir setiap soreku kulewati bersama senja yang terpampang
luas di taman sebelah rumahku, dan salah satu caraku untuk mengapresiasikan
hobiku ini adalah dengan membawa selembar kertas yang tidak lupa dengan penanya
juga, untuk mencatat sesuatu yang telah kudapat dari apa yang kupandangi hampir
setiap harinya ini. Disisi lain selain hanya memandangi senja, menulis juga
salah satu dari hobiku, jadi kedua hobi ini sangat pantas untuk dijadikan satu,
yaitu memandangi senja sambil menulis keadaan yang sedang terjadi pada saat
itu.
Kuk kuk ruyuk....
Kokokan suara ayam
tiba-tiba membangunkan tidur lelapku hari ini, dan itu menandakan subuh telah
datang dan saatnya aku untuk bangun dan memulai kehidupan baru di hari yang
baru pula.
“Hakim. nak ayo bangun, sekarang tanggal lima
loh yah, dan pagi ini kamu akan di wisuda, ayo cepat bangun sayang, mandi dulu
terus sarapan, kemudian baru berangkat.” Suara jeritan mama yang menyuruhku
bangun membuatku sangat terkejut.
“Astaga, sekarang rupanya
tanggal lima, oh Tuhan makan apa aku semalem hingga membuatku lupa bahwa hari
ini adalah hari di mana aku harus menaiki panggung dengan mengenakan kostum
bersejarah, yaitu kostum wisuda.” Gerutuku dalam hati sambil satu tanganku ku
letakkan di jidatku seperti orang linglung.
“Nak,
Hakim, ayo bangun sayang, nanti kamu kesiangan loh.” Jeritan mama yang kembali
menyuruhku untuk segera bangun, semakin membuatku tergesa-gesa.
“Ha, iya ma, Hakim udah
bangun kok.”
***
SMPN 1 Pamekasan,
disinilah aku mengumpulkan ilmu sedikit demi sedikit hingga kini telah menjadi
separuh dari gunung, kenapa seperti itu, karena agar aku dapat menyempurnakan
gunung ini menjadi utuh harus mampu menuntaskan studyku sampai akhir, baru aku
dapat membuat tumpukan ilmu ini yang di ibaratkan seperti separuh gunung, dapat
menjadi gunung yang utuh. Dan di tempat inilah aku akan di wisuda, dengan
mengenakan kostum keramat itu. Masya allah, semoga acar ini dapat berjalan dengan lancar, amin.
“Woy, Kim.” Sapa salah
seorang kawan SMPku yang tiba-tiba memecahkan lamunanku dari sekian menit aku
memandangi panggung wisuda yang berada tepat di hadapanku ini.
“Heh, kamu Yon,
ngaget-ngagetin aja, ada apa?” Sahutku, dengan sedikit nafas yang masih
tersenggal-senggal.
“Kamu ngapain, dari tadi
bengong aja di sini, kayak orang kehilangan ayam aja kamu Kim.”
“Gak ngapa-ngapain Yon,
hanya saja aku bayangin, secepat inikah kita harus meninggalkan tempat ini,
setelah tiga tahun lamanya kita berlabuh di tempat ini.”
“Iya juga Kim, cepet
banget yah, tapi ya mau bagaimana lagi kan sudah waktunya kita untuk berpindah
ke sekolah yang lebih tinggi lagi, yaitu di SMA.”
“ Tapi aku bakal kangen
banget ama suasana-suasana yang ada di sini Yon.”
“ Kalo itu udah pasti
Kim, aku juga bakalan seperti itu, tidak kamu doang, tapi mau bagaimana lagi,
takdir telah menuntut kita untuk berpindah pada tingkatan sekolah yang lebih
tinggi lagi.”
“ Ya udahlah Yon, ayo
cabut kita pindah ke kelas aja, dari pada aku tiba-tiba nangis di sini.”
“ Ya okelah ayo pargi, eh
tapi ngomong-ngomong kamu hari ini cakep banget ya?” Ujar Diyon dengan sedikit
memujaku.
“ Ya iyalah Yon, hari ini
kan kita mau wisuda, yah jadi agak berpenampilan berbeda sedikitlah, kapan lagi
cobak.”
“ Wih, cakep gitu jawaban
kamu, boleh juga kalo di copy.”
“ Huh dasar, tukang copy.
Eh tapi di mulai jam berapa yah wisudanya?”
“ Jam 08.30 seingatku
Kim.”
“Ouh, masih satu jam lagi
rupanya.”
“Iyah, masih lama, tenang
aja keburu banget kamu, kayak mau kemana aja kammu Kim.”
“Gak kemana-mana Yon, aku
kan cuman nanyak ajah.”
“Iya dah terserah. Eh
ngomong-ngomong kamu laper gak?” Tanya Diyon dengan memegangi perutnya, mungkin
dia sudah kelaparan banget.
“Ayo, kalo mau ke kantin,
aku temenin, tapi aku gak ikut makan ya, soalnya tadi di rumah udah sarapan
banyak banget.”
“Ya, okelah gak papa,
pokok ada temennya aja.”
Jam telah menunjukkan
pukul 08.30, sudah waktunya untuk peserta wisudawan
wisudawati bersiap-siap untuk duduk
rapi di kursi yang telah disediakan..
“Di umumkan, bagi peserta wisuda harap segera berkumpul di tempat wisuda, secepatnya.”
Suara pengumuman salah satu Guru tersebut membuat para peserta wisuda
tergesa-gesa.
Prosesi wisuda yang sangat sakral
dan mengesankan membuat seluruh teman-teman SMPN 1 Pamekasan, dipenuhi oleh
isak tangis keharuan, karena di saat itulah pertemuan terakhir mereka, dan di
situlah puncak dari perjuangan mereka selama tiga tahun lamanya. Di hari itu
juga menjadi hari yang sangat menyenangkan bahkan mengesankan bagiku, karena
aku dapat meraih gelar wisudawan terbaik tahun ini, sungguh hal yang sangat
membanggakan.
***
Setelah beberapa hari aku
telah di wisuda, aku masih menganggur di rumah untuk memilih di mana aku harus
melanjutkan sekolahku, namun dengan hasil yang sangat memuaskan ini, yaitu
aku mendapatkan gelar wisudawan terbaik tahun ini, membuatku semakin
bimbang, di sisi lain kedua orangtuaku telah menyuruhku untuk meneruskan
studyku di Pondok Pesantren, namun jika dipandang dari nilaiku dan perolehanku
yang sangat memuaskan itu, SMA favorit telah memanggil-manggil namaku untuk
memenuhi undangannya. Namun kedua orangtuaku sangat tidak setuju jika aku harus
masuk di SMA luar, dengan alasan papaku mengingikanku untuk mewujudkan
cita-citanya menjadi seorang penyair agama, kata papa dan mama dunia luar lama
kelamaan juga akan semakin sadis, jadi papa dan mama sangat menghawatirkan aku,
lagi pula aku juga sudah pernah mencicipi menimba ilmu di dunia luar, jadi
sambil mencari pengalaman baru, bersekolah di ruang lingkup yang sangat
tertutup.
“Nak, kemari papa sama
mama mau bicara ke kamu.”
“Iya pa, ma, ada apa
yah?”
“Bagaimana? Apa kamu udah
ngambil keputusan mau nerus sekolah kemana sayang.”
“Iya pa, ma, Hakim udah
nentuin, jadi Hakim ngikutin keputusan papa sama mama, yang menyuruh Hakim
untuk meneruskan bersekolah di Pondok Pesantren.”
“Ouh, jadi kamu mau
mengikuti keputusan papa sama mamamu juga nak?”
“Iyah pa, ma, asalkan itu
yang terbaik buat Hakim, pasti Hakim ikutin.”
“Baiklah, jika seperti
itu, sekarang kamu siap-siap, besok kita berangkat.” Ujar mama sambil
mengelus-ngelus pundakku.
“Baiklah ma.”
Kuk kuk ruyuuuuuuk.......
Kokokkan suara ayam kembali membangukan tidurku yang telah beberapa jam
terbuai oleh bantal, kasur, dan guling. Tapi menurutku mimpiku hari ini
aneh sekali, tiba-tiba saja aku di datangi oleh pria paruh baya, dan pria tersebut menggunakan pakaian serba putih, lalu pria tersebut seakan berkata
terhadapku, wahai pemuda sebentar lagi engkau akan menemui sebuah kubah biru
tak berpintu. Itu yang aku dengar dari ucapan pria tersebut, namun aku tak
mengerti siapakah gerangan. Ah sudahlah, biarkan saja mimpikan hanya sekedar bunga tidur, dan sekarang sudah waktunya
untuk aku
bersiap-siap mengemasi pakaian dan barang-barangku untuk aku bawa ke tempat
tinggalku yang baru yaitu, Pondok Pesantren. Yang pertama kali aku masukkan
adalah kertas-kertas hasil coretan tanganku bersama pena dan senja, tak lupa pula kertas kosong besertakan
penanya, itulah yang pertama kali aku masukkan dalam koper, setelah itu disusul
oleh barang-barang lainnya.
“Hakim, ayo mandi dulu
beres-beresnya ditunda nanti lagi.” Suara mama kembali terdengar di bawah sana.
“Baiklah ma, Hakim mandi dulu
sebentar.”
***
Waktu semakin cepat,baru saja tiga
minggu selesai wisuda, sekarang sudah harus
berangkat study lagi. Tapi dengan tema dan keadaan lingkungan yang berbeda
yaitu di Pondok Pesantren. Seperti apa rasanya dikurung di dalam area-area yang
sangat minim sekali tempatnya, udah tidak bisa bayangin lagi.
“Hakim sudah siap nak?” Suara itu
tak asing lagi, yah itu suara mama yang menyuruhku untuk segera turun dari
kamar.
“Udah ma, Hakim udah mau turun
ini.”
“Baiklah nak, secepatnya keburu
siang.”
Setiap anak tangga kulewati dengan
pelan-pelan karena harus membawa sebegitu banyaknya barang, dan tanpa kusadari
tiba-tiba air mataku meleleh begitu saja, oh Tuhan kenapa lagi dengan hatiku,
padahal aku sudah mantap dengan keputusanku ini, namun mengapa hati ini masih
saja tetap gundah. Ya Allah
hamba mohon kuatkan hati hamba, untuk selalu tetap konsisten pada keputusan
yang telah hamba buat sendiri. Namun masih saja air mataku terus bercucuran, dan
terus ku usap, agar mama dan papa tidak mengetahuinya. Hingga pada akhirnya aku
tiba di depannya.
“Papa, mama, ayo berangkat Hakim
sudah siap.”
“Kamu sudah yakin kan ya nak.”
“Iya pa, ma Hakim sudah sangat
yakin.”
“Baiklah kalo begitu, ayo berangkat
keburu siang nanti.”
“Iya papa.”
Laju mobil ini serasa semakin
cepat, semakin cepat pula untuk aku menginjaak tempat suci tersebut.
***
Ssssttttt!
Suara rem mobil menandakan bahwa
keempat roda mobil yang aku tunggangi telah mencium tanah di tempat suci ini.
Langsung aku buka pintu mobilku, subhanallah, banyak sekali santri di sini, ada
yang makan-makan, cangkruan, ada juga yang bermain sepak bola, bahkan ada yang
membaca buku sambil berjalan, sungguh, memamang benar
bahwa santri itu mempunya cirikhas
tersendiri , dan setelah ini, aku akan menjadi salah satu bagian dari mereka,
huft! Semoga saja bisa betah di Pondok
ini. Belum selesai aku mengamati setiap kegiatan santri yang ada disini,
tiba-tiba mataku di buat tercengang oleh bangunan yang berdiri megah di
hadapanku dengan kubah yang berwarna biru, namun anehnya, bangunan tersebut
sama sekali tidak memiliki pintu, bangunan apa itu? Jika memang itu masjid, namun
mengapa tak satupun pintu melekat pada
ruang tersebut? Sungguh aneh.
Tak henti-hentinya fikiranku terus
dipenuhi oleh rasa penasaran mengenai bangunan tersebut, hingga membuatku tak
menghiraukan ucapan mama dan papa.
“Nak, ayo masuk ke kamar mama sama
papa anterin.”
“….”
“Hakim.”
“….”
“Hakim!”
“Eh, iya ma ada apa?” sahutku
dengan wajah yang masih belum bisa terfokus dengan apa yang di ucapkan oleh
mama.
“kenapa kamu nak?
“Hakim tidak apa-apa kok ma.”
“Kok bengong gitu nak?”
“Udahlah ma, tadi mama ngomong apa
Hakim gak denger.”
“Ayo masuk ke kamar nak, mama sama
papa anterin, mama sama papa juga mau pulang.”
“Yaudah ayo ma.”
Bau-bau kehidupan yang sangat
sederhana mulai tercium, dan sebentar lagi aku akan berbaur dengan kehidupan
ini, bismillah semoga aku bisa, gerutuku dalam hati. Bermacam-macam
kehidupan banyak aku temui di dalam kompleks Pondok ini, mereka-mereka sangat hebat, dapat membawa
dirinya sendiri, dan aku harus bisa seperti itu, karena sebelumnya belum pernah
aku semandiri ini.
***
Dar, dar!
Suara apa itu, berisik sekali,
membuatku terkejut hingga terbangun dari tidurku, padahal baru saja jam 03.29.
“Ayo bangun, ayo bangun, subuh,
subuh! Sholat dulu.” Comel salah seorang lelaki yang tidak lain adalah pengurus
Pondok,
Uuuh! Masih jam segini udah di
bangunin, suruh sholat subuh, padahal ya masih lama. Gerutuku dalam
hati.
Brrak!
Tiba-tiba dobrakan suara pintu
terdengar keras di telingaku, dan ternyata pintu yang di dobrak tidak lain
adalah pintu kamarku sendiri. Ouh astaga, mau ngapain manusia ini, malem-malem
dobrak pintu kok keras banget. Apa itu yang ada di tangannya? Tongkat kecil?
Untuk apa?.
“Ayo sholat, ayo sholat.” Rutuk
orang tersebut sambil memukul-mukulkan tongkat kecil dari rotan tersebut pada
tubuh anak-anak yang masih tertidur pulas, sedangkan hanya aku yang sudah
bangun di kamar itu, karena suara koar-koar yang sangat keras membuatku
terbangun.
Jadi ternyata tongkat kecil yang
ada di tangannya itu adalah alat bantu untuk membangunkan santri-santri.
Gerutuku dalam hati. Jadi seperti ini kegiatan di Pondok, ketika pagi hari, pagi-pagi masih jam
03.29 sudah harus mendengarkan comelan dari para penguru-pengurus yang
membangunkan para santri untuk melakukan tanggungan wajib mereka yaitu sholat
subuh. Setelah semua santri sudah bangun, mereka segera beranjak dari tempat
tidurnya untuk mengambil air wudzuk, namun ketika aku keluar dari kamar, ada
satu hal yang membuatku tertawa, ternyata mereka keluar dari kamar itu bukan
langsung mengambil air wudzuk, ada beberapa santri yang keluar hanya untuk
berpindah tidur di teras depan kamar, masyaallah, sungguh
perbuatan yang sangat konyol, aku kira mereka semua langsung menuju kamar mandi
eh, ternyata hanya ingin berpindah tempat tidur saja, karena kamar langsung dikunci,
jadi mereka tidak ingin melanjutkan
tidurnya di dalam kamar. Setelah melihat pemandangan horor tersebut, aku mulai
berjalan pelan-pelan melewati para
manusia-manusia yang sedang melanjutkan tidurnya di teras depan kamarnya
masing-masing. Tak lama setelah itu, aku sampai di dalam kamar mandi dan wow!
Rupanya di dalam kamar mandi ini aku mendapatkan pemandangan yang lebih horor
dibandingkan pemandangan yang pertama, banyak sekali manusia-manusia yang
terdampar di dalam kamar mandi ini, ada yang tidak pakek baju, ada yang tidurnya
mangap,ada yang tidurnya berdiri, huh! Banyak sekali model-model yang sedang
terdampar di dalam
kamar mandi ini.
Setelah semua santri mulai memenuhi
area masjid, rasa penasaran yang menggelayuti
fikiranku telah terjawab, bangunan yang berdiri megah dengan kubah berwarna
biru tersebut adalah masjid. Setelah tadi malam aku telusuri dari santri-santri
yang sudah lebih lama mondok di sini, mengapa masjid ini didesain sedemikian
rupa, karena ada beberapa alasan tertentu, yang pertama bertujuan agar para
jama’ah merasa nyaman ketika beribadah di masjid ini, dan masjid ini juga
menandakan bahwa tidak adanya pintu dengan tujuan agar terbuka bagi siapa saja,
tidak membedakan siapapun, ras, agama, maupun suku, dan setiap bentuk bangunan
yang terdapat di dalam masjid ini memiliki filosofi tersendiri. Dan inilah
jawaban dari mimpiku sebelum aku berangkat ke Pondok ini, mengenai kubah
biru tak berpintu.
Semua santri sudah
memenuhi area masjid, sholat subuh pun juga akan segera dimulai. Setelah
selesai sholat lagi-lagi aku menemukan pemandangan yang lebih horor dibanding
pemandangan sebelumnya yang aku temui, ada satu santri dihadapanku ia
sedang terbuai oleh bunga mimpinya,
tiba-tiba ada sosok lelaki yang berjalan memghampirinya.
“Ayo bangun.” Ucap lelaki
tersebut sambil memegang pundak santri yang sedang terbuai oleh mimpinya itu.
“Zzztttt..” Suara
hendusan nafas santri tersebut yang masih saja terbuai oleh bunga tidurnya,
meskipun telah dibangunkan oleh pengurus tadi.
“Ayo bangun!” Sontak
lelaki itu dengan nada yang sedikit meninggi, sambil mengangkat pantat santri
itu yang kemudian ia pukul dengan penjalin.
“Beneran saya ngantuk, ustadz.” Sahut santri tersebut dengan mata yang masih terkatup.
“Beneran saya ngantuk, ustadz.” Sahut santri tersebut dengan mata yang masih terkatup.
“Meskipun saya juga
ngantuk! Tapi sekarang waktunya sholat bukan waktunya tidur, suruh siapa
waktunya tidur gak tidur.”
“Iya, iya ustadz, saya
tidak akan tidur lagi.” Jawab santri tersebut sambil berlalu meninggalkan
ustadz tersebut untuk berpindah tempat, entah untuk melanjutkan mimpinya atau
pergi wudhu.
“Awas ya, pindah tempat
tapi tidur lagi!”
“Iya ustadz.”
Sungguh suasana yang
sangat menegangkan, ketika tidur ketahuan oleh ustadz ataupun pengurus, huft!
Semoga saja aku tidak pernah tertidur ketika sholat.
***
Jam telah menunjukkan
pukul 07.00, saatnya para santri untuk berangkat sekolah. Di sini suasana
sangat berbeda jauh dengan sekolahku SMP, biasanya aku ketika masuk kelas pasti
anak-anak pada mainan HP dan lain sebagainya, namun berbeda dengan yang ada di
kelas ini, mereka pada asyik dengan menyanyikan lagu-lagu has Pondok yang biasa
di sebut dengan nadzoman. Dengan sangat kompak mereka menyanyikannya,
hingga membuat suasana terasa sejuk.
Haripun mulai berganti
siang, setelah melaksanakan jama’ah sholat dzuhur, kegiatan selanjutnya adalah
makan siang, dan makan siang di Pondok ini berbeda dengan Pondok-pondok lainnya,
di tempat ini makanya bareng-bareng satu talam empat orang, dan aku rasa itu
rasanya lebih nikmat.
***
Hari tak kunjung sore,
aku sedang merasa rindu dengan sahabat sejatiku, yang tidak lain adalah senja,
sudah berapa hari aku tak mengunjunginya, dan beberapa lembaran kertas telah
menunggu untuk di dayung oleh pena, untuk segera di isi oleh suasana yang
biasanya ada ketika senja telah datang.
“Hay Kim, ngapain kamu
duduk sendiri di sini?” Sapa salah seorang teman baruku.
“Hanya menunggu senja,
untuk kembali aku sapa dengan beberapa carik kertas dan bolpion ini.
“Aneh banget sih kamu
Kim, masak iya senja dapat menyapa manusia?” tanya temanku tersebut dengan
wajah yang masih terasa heran dan penasar akan yang terjadi pada hari ini.
Pukul 04.59, biasanya
senja jika sudah jam segini dia akan keluar, aku harus siap-siap untuk
menyambut kedatangannya.
Ouh senja, akhirnya kamu
datang juga, setelah sekian hari aku tak menyapamu aku merasakan rindu yang
sangat mendalam. Dan sekarang ketika kamu muncul ingin segera aku untuk
menuliskan isi perasaan yang tersimpan beberapa hari ini. Dan ketika aku
membuka-buka buku yang aku pegang untuk mencari kertas kosong yang dapat aku
ajak untuk bercerita mengenai perasaanku, tiba-tiba saja aku menemukan sebuah
tulisan yang mampu membuatku meneteskan air mata. Dan tulisan itu berbunyi.
“Anakku, ketahuilah.
Seseorang akan berharga jika ia berkarya. Bukan hanya di mata Tuhan, tapi juga
di mata semua manusia. Dan keberadaanmu di dunia adalah harta paling berharga
bagiku, maka jadilah kau berhargadi mata siapapun, demi aku, demi segala hal
yang telah kuniatkan,dengan karya-karyamu.”
Itu adalah salah satu
pesan papa yang mampu membuatku bangun dan segera bangkit dari keterpurukan
yang pernah singgah dalam hidupku, dan aku akan merintis karyaku melalui hal
yang sangat menakjubkan yaitu, berperahu kertas mendayung dengan pena.
***
Sudah beberapa bulan
lamanya aku merintis ilmu di tempat ini, dan rasa geregatku dengan
lembaran-lembaran putih yang masih bersih ini semakin menjadi-jadi, hingga
kemanapun aku pergi pasti ia aku bawa. Namun masih ada saja, yang iseng dengan
kebiasaanku ini, mereka sering mengejek, menghina, bahkan merobekpun itu sering
kali mereka lakukan padaku, dan hal tersebut sama sekali tidak mengurungkan niatku
untuk mewujudkan sebuah karya yang telah di cita-citakan oleh papa.
Pada suatu ketika aku
berjalan menuju masjid, ada salah seorang ustad memanggilku.
“Hakim, kemari nak,
ustadz mau ngomong sama kamu.”
“Iya Ustadz.”
“Denger-denger kamu suka
nulis-nulis ya?” tanya Ustadz yang memiliki nama M.Syaifudin ini, dengan wajah
yang lumayan penasaran.
“Iya Ustadz, memang
kenapa ys?”
“Ustadz cuman pengen tau
saja, mana sekarang tulisan-tulisan yang sudah pernah kamu tuliskan.”
“Ini Ustadz.” Sahutku
dengan menyodorkan buku yang biasa aku bawa kemana-mana.
Beberapa menit kemudian.
“Tulisan-tulisan kamu
keren-keren nak, bagaimana kalo kamu publikasikan, biar tidak hanya berhenti di
buku saja.” Saran Ustadz Syaif, semakin membuatku tertantang. Hingga pada
akhirnya aku terus berusaha semaksimal mungkin untuk membuat suatu naskah yang
sangat menakjubkan, hinggga pada akhirnya dapat menjadi sebuah karya yang
sangat menakjubkan bagi para pembaca setia, terutama kepada kedua orang tuaku.
Inilah kehidupanku
semakin di sibukkan oleh kegiatan tulis menulis hingga cercaan yang kerap kali
melintas dalam kupingku tak aku hiraukan sama sekali.
***
Dua bulan lamanya ku
menulis karya ini, hingga pada akhirnya satu karya yang aku perjuangkan ini
mampu menghasilkan pandangan positif pada orang-orang di sekitar, selebihnya
orang-orang yang sering mencaci dan menghina bahkan merobekku, karena semua itu
aku jadikan sebagai pupuk kehidupanku, hingga pada akhirnya menjadi seperti
ini. Dan setelah semuanya terjadi aku segera konfirmasikan kepada tempat
percetakan buku, dan hal itu di tanggapi oleh petugasnya, dan buku pertama yang
aku tuliskan berjudulkan, “Jika ingin terbentuk maka terbenturlah” Dan
isi yang tercantum dalam buku tersebut mengenai jalan terjal seorang santri
menjadi penulis. Dari awal ia terbentur kesana-kemari hingga sekarang sudah terbentuk.
Comments
Post a Comment